Home » , , , , , » Ende, Salah Satu Kota Bersejarah

Ende, Salah Satu Kota Bersejarah

 

Menurut legenda, Pulau Ende merupakan parang (baca: golok) dari Gunung Wongge yang dibuang ke laut setelah menebas leher dari Gunung Meja. Legenda cinta segitiga Gunung Iya, Gunung Meja dan Gunung Wongge hidup dan diceritakan turun-temurun. Ikon-ikon kota Ende seperti Gunung Meja, Gunung Iya, dan Pulau Koa adalah bagian dari legenda tersebut.

Kota Ende adalah kota pelabuhan dan menghadap ke Pulau Ende. Sebagai ibukota Kabupaten Ende, kota ini terletak tepat di tengah-tengah Pulau Flores. Bahkan titik tengah Pulau Flores hanya berjarak ± 17 km dari pusat kota, berupa batu setinggi 3 meter, yang disebut watu gamba. Uniknya di ‘monumen’ batu tersebut ada tanda tangan mantan presiden Suharto.

Kabupaten Ende memiliki potensi pariwisata yang kaya. Entah itu budaya, sejarah, alam, pantai, maupun tradisi. Semua itu menawarkan petualangan dan cerita tersendiri bagi siapa saja yang ingin mengeksplore lebih jauh tentang bumi tiga warna ini. Kota Ende sebagai ibukota Kabupaten Ende merupakan pintu gerbang untuk mengenal semua kekayaan tersebut.

Sejarah Kota Ende

Sejarah Kota Ende bermula dari Nua Ende yang merupakan hikayat atau dongeng hasil telusuran dari karangan S. Roos yang berjudul “Iets Over Ende” dan juga karangan Van Suchtelen tentang “Onderafdeling Ende”. Menurut hikayat (baca: mitos) bahwa turunan orang Ende berasal dari langit, Ambu Roru (laki-laki) dan Ambu Mo’do (perempuan). Mereka kawin dan mempunyai 4 (empat) orang anak, 2 (dua) perempuan dan 2 (dua) laki-laki. Dalam perjalanan waktu satu anak perempuan menghilang, sehingga 3 (tiga) anak yang lain melanjutkan keturunan Ambu Roru dan Ambu Mo’do. Ambu Roru sekeluarga tinggal di pulau kecil (Pulau Ende).

Pada suatu hari, Borokanda, Rako Madange, dan Keto Kuwa bersampan dari pulau Ende ke pulau besar untuk melihat umpan ikan yang mereka pasang. Saat itu pulau besar dikuasai oleh Ambu Nggo’be. Anak-anak Ambu Roru ini rupanya mendapat banyak ikan, yang separuhnya mereka makan ditempat dan yang sisanya mereka bawa pulang ke rumah. Sementara mereka makan datanglah Ambu Nggo’be, sang tuan tanah. Borokanda dan saudara-saudaranya mengajak Ambu Nggo’be untuk makan bersama dan pertemuan mereka ini membawa persahabatan.

Sebagai balas jasa, Ambu Nggo`be mengajak Ambu Roru dan keluarganya untuk meninggalkan Pulau Ende supaya berdiam di pulau besar. Ambu Nggo`be memberikan tanah dengan syarat harus dibayar dengan satu gading dan seutas rantai emas. Bahan warisan itu masih disimpan Kai Kembe salah seorang turunan lurus dari Ambu Nggo`be. Jadi semua syarat dipenuhi dan diselesaikan. Mereka menebang pohon dan semak dan membuka perkampungan yang diberi nama Nua Roja, selanjutnya dalam perjalanan kemudian diganti dengan nama Nua Ende.

Dengan berjalannya waktu terjadi proses kawin mawin antara penduduk asal Pulau Ende dengan penduduk asli. Maka putera Ambu Roru kawin dengan putera Ambu Nggo`be. Beberapa waktu kemudian datang seorang laki-laki dari Modjopahit yang mengendarai ngambu atau ikan paus. Ia berdiam di Nua Ende dan kawin dengan cucu perempuan dari Ambu Roru dan Ambu Nggo`be. Ada juga seorang Cina berdiam di Ende dan kawin dengan keturunan dari keluarga besar Ambu Nggo’be. Orang Cina itu bernama Maga Rinu.

Dari hikayat yang diceriterakan ini dapat disimpulkan bahwa Nua Ende dimulai oleh Ambu Nggo`be dan bantuan Ambu Roru dari Pulau Ende dan bantuan orang Modjopahit serta orang Cina. Pengambil inisiatif dan penanggung jawabnya ialah Ambu Nggo`be sebagai tuan tanah besar. Beberepa hikayat lain seperti cerita Dori Woi, Jari Jawa maupun Kuraro juga menceritakan bahwasanya Ambu Nggo’be adalah penguasa awal yang membangun Tana Ende.



Patung Soekarno di Taman Pancasila

Ende menyimpan banyak hal menarik untuk dikulik salah satunya sebutan kota sejarah. Selain itu sebutan Kota Pancasila, Kota Pelajar dan Bumi Danau Tiga Warna sudah dikenal lama. Di Kota Ende ini, Proklamator RI, Soekarno pernah tinggal dan bergaul dengn penduduk setempat. Bung Karno yang diasingkan oleh pemerintah Belanda karena perjuangannya, menganggap Ende sebagai miniatur Indonesia. Karena heterogen warganya dan latar belakang tapi dapat hidup damai minim gesekan dan konflik. Toleransi dan saling hormat menghormati, hargai menghargai menjadi nafas kota ini.

Selama di Ende, Soekarno bukanlah tokoh elite yang tinggal di menara gading. Beliau tinggal dan mengontrak rumah penduduk dan sering bepergian keliling Ende dan berkenalan dengan siapa saja. Tempat-tempat dan jejak-jejak yang sering didatangi dan menjadi favorit Ir. Soekarno dapat ditemui sampai saat ini. Beberapa bahkan merupakan situs sejarah yang masih terawat baik dan sering dikunjungi oleh wisatawan. Diantaranya rumah tinggal bung Karno di Jalan Perwira, kampung Ambugaga dan pohon sukun sebagai tempat perenungan Pancasila. Selain itu juga ada gedung Imakulata, Gereja Katedral, Masjid Arabita (masjid tertua di Ende), makam Ibu Amsi (Ibunda Inggit Ganarsih), pelabuhan, eks toko De Leew (sekarang toko Sekawan Baru), Percetakan Arnoldus, kali Wolowona dan kali Nangaba. Di tempat-tempat tersebut Bung Karno bertemu dan berinteraksi dengan warga Ende, para ulama, para pastor, maupun tokoh masyarakat.

Di Kota Ende juga butir-butir Pancasila dikandung dalam perenungan (baca kontemplasi) Sang Proklamator. Di Ende, Bung Karno memperoleh kesempatan untuk mematangkan gagasannya tentang dasar perjuangannya memerdekaan Indonesia. Menjadi kebanggan juga bahwa pemerintah menetapkan perayaan peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni, secara nasional di kota ini. Tempat Bung Karno sering duduk untuk merenung saat ini dijadikan taman dan ditahtakan patung Soekarno muda duduk dengan memandangi laut. Membayangkan saat itu masih banyak pohon sukun, mahoni, dan asam jawa yang membuat udara sejuk dan hening dengan suara ombak pantai sebagai musik alam yang syahdu. Sedangkan monumen pancasila sendiri dapat ditemui di simpang lima, tidak jauh dari bandara H. Hasan Aroeboesman.

Selain sebagai kota sejarah lahirnya ilham 5 (lima) sila Pancasila, Kota Ende dikenal juga sebagai kota pendidikan di Pulau Flores. Karena di kota ini banyak sekolah bermutu dan juga perguruan tinggi. Salah satunya adalah Universitas Flores. Banyak orang muda dari kota-kota di Flores, Timor, Sumba hingga Alor dan Lembata yang datang menimba ilmu. Kehadiran mereka berkontribusi dalam menggeliatnya perekonomian, juga menambah kaya budaya warga kota dengan budaya-budaya yang berbeda.

Warga Kota Ende yang pluralis juga heterogen latar belakangnya, tapi yang sebenarnya ada 3 (tiga) suku yang dominan, ketiganya memiliki bahasa yang mirip tapi tidak sama. Ketiga suku tersebut yaitu Suku Ende, Suku Lio, dan Suku Nga’o. Warga Ende sangat ramah, apalagi dengan pendatang karena hal tersebut menjadi ciri khas orang timur yang terbuka, apa adanya.

Kota Ende yang berada di pesisir selatan pulau Flores dan menghadap teluk sawu ini memiliki topografi khas daerah selatan, yaitu berbukit-bukit. Kontur tanah yang tidak rata tersebut justru menambah nilai keindahan karena ada bangunan yang dibuat diatas bukit atau tempat lebih tinggi hingga mempunyai view cantik ke arah pantai dan laut sawu. Beberapa tempat tersebut adalah kantin Universitas Flores di kampus 4, tikungan Woloweku, tikungan salib arah Ndetundora, kuburan Potunggo, dan beberapa tempat lainnya.

Kota kecil ini juga masih menjaga dan merawat tradisi serta budaya yang dimilikinya. Hal tersebut terlihat dari kebiasaan warganya yang masih memegang teguh tradisi, seperti menenun dan mengenakan sarung hasil tenun ikat sebagai busana sehari-hari maupun dalam acara hajatan atau kenduri. Biasanya juga dikenakan dengan baju yang dikenal dengan nama Baju Ende. Semangat gotong royong antar sesama keluarga dan warga kampung juga masih sangat kental. Terlebih dalam proses mempersiapkan hajatan atau kenduri untuk pernikahan, kelahiran maupun syukuran. Begitupun saat ada kematian atau pembuatan rumah.

Tidak jauh dari Kota Ende ke arah timur ada desa yang masih menjaga simbol-simbol tradisinya berupa rumah adat, kubur batu, maupun kebiasaan menenun di kolong rumah. Di desa bernama Wolotopo di tepi pantai tersebut berjarak kurang lebih 10 km dan menjadi salah satu destinasi wisata kategori kampung adat yang juga sering dikunjungi oleh para wisatawan. Jika kita bertandang kesana akan disambut dengan ramah oleh warga setempat.

Akhir-akhir ini Kota Ende mulai berdandan dalam rangka untuk menyambut perayaan proklamasi 17 Agustus dan juga sail komodo 2013. Ende akan menjadi salah satu destinasi yang disinggahi oleh peserta sail. Jalan-jalan dalam kota mulai dikerjakan dan diperbaharui lagi. Begitu juga pantai-pantainya, karena pantai Ria menyuguhkan sebuah pemandangan sunset yang menakjubkan. Untuk menikmati sunset, selain di Pantai Ria, juga bisa dinikmati di pantai Bita Beach, Pantai Mbuu, Maupun Pantai Penggajawa. Di pantai Penggajawa cukup menarik karena disepanjang pantai bertebaran batu-batu bulat berwarna hijau yang dikenal dengan dengan nama batu penggajawa dan bernilai ekonomis. Batu-batu ini bahkan sudah diekspor sampai ke Jepang.

Tidak afdol kalau tidak menjelajahi sudut-sudut kota Ende. Karena selain kampung adat, pantai, situs sejarah, juga ada air terjun yang berjarak kurang lebih 12 km dari kota yaitu air terjun ae poru di desa Kadebodu.

Untuk sampai ke Kota Ende bisa melalui alternatif darat, laut, maupun udara. Ada beberapa maskapai yang melayani penerbangan via Denpasar atau Kupang. Sedangkan rute laut, sementara dilayani oleh kapal-kapal Pelni dan juga moda penyebrangan dari ASDP berupa fery reguler maupun fery cepat dari Kupang. Untuk rute darat banyak bus dan travel yang melayani trayek dari Ende ke semua kota di pulau Flores.

Sumber: (www.eddiewilh.blogspot.com)

0 komentar:

Posting Komentar