Home » , , , , , , » Wanita Penantang Matahari

Wanita Penantang Matahari

Tak banyak bupati dan walikota wanita di Indonesia. Dari sekian jumlah yang bisa dihitung dengan jari, ada nama Tri Rismaharini. Wanita ini adalah Walikota Surabaya yang menjabat sejak tahun 2010.

Surabaya yang kita kenal adalah kota yang berkarakter keras dan berudara panas. Kini banyak hal mengubah kota itu. Terlihat lebih ramah, hijau dan sejuk. Puluhan taman dibangun dan beberapa bagian kota yang dahulu sepi dan mati, kini menjadi lebih hijau dan segar. Tiap sore dan akhir pekan warga Surabaya mendatangi taman-taman itu untuk sekedar melepas lelah dan bercengkrama dengan keluarga. Suasana yang tidak bisa didapatkan sebelum tahun 2008.

Sebelum terpilih menjadi Walikota, Tri Risma pernah menjabat Kepala Dinas Pertamanan dan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya, 2005 –2010. Pada masa di dinas pertamanan, bahkan hingga kini menjadi Walikota Surabaya, Risma mengubah banyak hal. Taman kota yang dibangun adalah taman Bungkul di Jalan Raya Darmo, taman di Bundaran Dolog, taman Undaan serta taman di jalan Bawean serta puluhan taman lain di seluruh Surabaya.

Selain itu Risma juga berjasa membangun jalan bagi pejalan kaki dengan konsep moderen di sepanjang jalan Basuki Rahmat hingga jalan Tunjungan, Blauran, dan Panglima Sudirman.

Penantang Matahari

Tak heran, karena kiprahnya itu, Tri Risma begitu dicintai warganya. Warga yang mencintainya bukan pemilik modal dan para birokrat, namun masyarakat menengah dan bawah yang menghargai jerih payah mantan kepala Dinas Pertamanan ini. Nyata sekali ketika dia mencalonkan diri menjadi walikota Surabaya. Di sudut-sudut kota, warga terutama ibu-ibu yang tergabung pada Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) selama berbulan-bulan menabung bersama untuk disumbangkan ke tim sukses Risma. Begitu juga ketika Risma terancam diberhentikan sebagai Walikota Surabaya. Risma yang didukung oleh sebagian besar warga Surabaya tetap bersikukuh, bahwa berbagai kebijakan kontroversinya dalam menata Kota Surabaya selama ini semata-mata untuk “kepentingan rakyat”.

Setelah dilantik sebagai Walikota Surabaya, perempuan kelahiran 20 November 1961 ini memang melahirkan berbagai kebijakan diprotes para politisi di DPRD Surabaya, diantaranya soal penataan reklame dan penolakannya atas pembangunan jalan tol di tengah kota.

Risma memang tidak terlalu kompromi dengan para pemilik modal. Julukan ‘keras kepala’ diberikan lawan politiknya, setelah Risma menolak permintaan DPRD kota itu untuk meninjau ulang beberapa kebijakannya. Misalnya soal Peraturan Walikota Nomor 56 dan 57 tahun 2010 tentang penataan reklame. Kebijakan ini intinya menaikkan tarif pajak reklame dari 100 persen hingga 400 persen untuk reklame berukuran delapan meter. Sebaliknya, reklame berukuran lebih kecil tarifnya diturunkan hingga 40 persen.

Dalam berbagai kesempatan, Risma menyebut langkahnya ini agar ‘Surabaya tidak menjadi hutan reklame’. Keberadaan reklame berukuran raksasa juga disebutnya “rawan dan membahayakan masyarakat jika roboh”. Klimaksnya, Januari tahun ini, Panitia Khusus (Pansus) hak angket DPRD Surabaya tentang kebijakan penataan reklame akhirnya mengeluarkan rekomendasi kepada DPRD Surabaya untuk mengusulkan pemberhentian Tri Rismaharini sebagai walikota. Namun bukan Rismaharini apabila tidak ‘melawan’. Selain tidak menghadiri sidang, Risma juga mengatakan bahwa tidak ada yang salah dari kebijakannya.

“Saya tetap berpedoman: kepentingan masyarakat itu yang utama, saya tidak akan berubah apapun resikonya, karena saya yakin suara rakyat itu suara Tuhan,” katanya, sebelum rekomendasi pansus itu dikeluarkan. “Saya tidak boleh bergeming karena keinginan bukan atas nama pribadi atau kelompok,” tegas Risma, seorang arsitek tamatan ITS itu.

Sikap menolak kompromi juga ditunjukkan perempuan ini, ketika menolak pembangunan jalan tol tengah Kota Surabaya. Padahal, rencana membangun jalan tol sepanjang 23,8 kilometer senilai Rp 8 triliun ini sudah disetujui pemerintah pusat dan didukung DPRD kota itu.

Apa alasan Risma? “Jalan tol itu tak akan menyelesaikan kemacetan, namun justru di masa depan akan memperparah kemacetan.” Dia kemudian mengusulkan agar meneruskan pembangunan jalan lingkar timur untuk mengurangi kemacetan dengan alasan pembangunan jalan tol ini akan mengorbankan ribuan warga yang harus digusur.

Apa yang diingini Risma sebenarnya? “Saya ngotot agar taman itu bisa dinikmati masyarakat, yaitu menjadi ruang sosial dan rekreasi bagi masyarakat tidak mampu,” ungkapnya. Itulah sebabnya, menurutnya, tidak ada taman di sudut-sudut Kota Surabaya yang berpagar. “Ini yang membuat taman kita tidak satu pun yang ’nggak laku.”

Wanita berkerudung ini sering dijuluki dengan ibu Giman, ibu ‘Gila Taman’. Ketika menjabat sebagai Kepala Dinas Pertamanan Surabaya dia rajin berkeliling kota sejak pukul 05.00 pagi untuk melihat taman-taman yang menjadi tanggung jawabnya ketika itu. Pun ketika dia menjadi walikota. Dia mengharuskan seluruh kepala instansi teknis untuk datang ke kantor pukul jam satu siang. Kenapa ? “Supaya mereka berkeliling dulu meninjau apa yang sudah mereka lakukan bagi masyarakat,” katanya. Menurutnya, kemajuan tidak selalu dikendalikan di belakang meja. “90 persen kemajuan adalah ketika kita berada di lapangan,” katanya.

Risma menyebut peran kedua orang tuanya mampu membentuk ‘karakter’-nya, termasuk ketika menghadapi persoalan politik dengan DPRD Surabaya. Secara khusus dia menyebut sosok mendiang ayahnya.

“Ayah saya sebetulnya berhak dimakamkan di makam pahlawan dan mendapat fasilitas sebagai veteran. Saya tahu dia menolak. ‘Saya berjuang untuk tidak dapat fasilitas, tapi untuk negara’. Ini membekas pada saya,” ungkapnya. “Saya takut melukai orang tua saya, kalau saya mengkhianati warga kota ini,” katanya diplomatis.

(sumber: kabarinews.com)

0 komentar:

Posting Komentar