Home » , , » Mochi Kota Sukabumi: Sebuah Sejarah Kuliner Khas Daerah

Mochi Kota Sukabumi: Sebuah Sejarah Kuliner Khas Daerah

Muhammad Iqbal Awaludien (Iqbal Awal)


Pecinta sejarah, buku, dan film. Lulus dari Ilmu Sejarah UGM tahun 2012.


Akun Twitter: @Iqbal_Anotes


 


Sejarah Mochi Sukabumi bisa ditelusuri dari tradisi lisan masyarakat. Konon, makanan ini dibawa oleh tentara Jepang yang pernah menduduki Indonesia. Pada masa itu, ada orang-orang pribumi yang menjadi juru masak di barak-barak militer Jepang. Barak militer saat itu ada di Sekolah Calon Perwira (SECAPA) yang di masa kolonial di kenal dengan nama politie school, yang terletak di Jalan Bhayangkara. Pada masa Jepang, sekolah digunakan menjadi pertahanan militer utama Jepang di Sukabumi. Namun, ada juga yang memberi keterangan bahwa makanan ini telah diwariskan secara turun-temurun oleh warga keturunan Tionghoa yang cukup banyak jumlahnya di Kota Sukabumi. Makanan ini sering disajikan dalam acara-acara pernikahan dan Tahun Baru Imlek.

Sungguh menarik jika menyikapi kedua perbedaan keterangan di atas. Memang sedikit menimbulkan polemik mengenai kapan tepatnya makanan ini masuk ke daerah Sukabumi dan bagaimana proses peralihan keahliannya, sehingga bisa menyebar luas. Karena pada kenyataannya, makanan ini adalah makanan tradisional Jepang dalam upacara yang dikenal dengan mochitsuki, yaitu upacara minum teh dengan Mochi sebagai makanannya. Namun, hal yang menarik kemudian, Mochi Sukabumi merupakan mochi yang berbeda dari mochi Jepang. Dalam mochi Jepang tidak dikenal pembungkus dari bambu untuk Mochi. Selain itu, kacang tanah yang menjadi isinya tidak ditemukan dalam mochi Jepang. Oleh sebab itu, asumsi yang paling mendekati kebenaran, kenyataanya Indonesia pernah di duduki Jepang (1942–1945). Hal ini memungkinkan terjadinya pewarisan keahlian dari bala tentara Jepang kepada penduduk lokal yang bekerja di dapur-dapur militer.

Fakta-fakta lain yang bisa menguatkan asumsi ini adalah adanya interaksi ekonomi antara orang-orang Jepang dan penduduk lokal yang sebetulnya sudah terjadi sebelum Jepang menduduki Indonesia. Sekitar tahun 1930-an, hanya ditemukan toko-toko bahan makanan Jepang yang dikenal dengan sebutan bussando di kota-kota seperti Batavia, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Toko-toko Jepang tersebut menjual berbagai kebutuhan sehari-hari berupa bahan makanan pokok. Di Cianjur, yang letaknya begitu dekat dengan Kota Sukabumi, sekitar tahun 1920-an, di temukan sebuah toko Jepang yang menjual bahan makanan pokok. Nama pemiliknya adalah Togashi Takeomi.

Setelah ditelusuri lebih jauh, dengan memakai metode sejarah lisan, ternyata usaha mochi 'lah yang berasal dari warga keturunan Cina (Tionghoa). Kesaksian ini didapatkan dari Didin Syamsudin, pemilik Mochi Rejeki. Menurut Didin, mengenai hal ini, ia memberi petunjuk bahwa usaha mochi pertama di kota Sukabumi adalah Mochi Garuda. Sejak ia menjadi pedagang asongan pada tahun 70-an, Mochi itu sudah ada, dan merupakan satu-satunya di kota Sukabumi. Letak Mochi Garuda tidak terlalu jauh dari mochi miliknya, yaitu di daerah Kota Paris, Kelurahan Kebonjati, tepatnya di Jalan Otista no. 39.

Mochi Garuda atau Mochi 39: Mochi Pertama Sukabumi

Diantara deretan toko-toko bergaya modern, terlihat sebuah rumah bergaya lama. Arsitekturnya bergaya kolonial, seperti rumah yang khusus ditempati para pejabat pada masa Belanda, dengan kusen jendela yang tinggi, atap melancip, lantai marmer, dan ornamen-ornemen batuan di dindingnya. Memberikan kesan bahwa pemilik rumah itu mempunyai keluarga yang sudah berakar jauh sejak lama. Di atas pintu kayu dan jendela kacanya, terdapat papan yang berfungsi juga sebagai sebuah merk. Di tengah papan tersebut terdapat semacam tulisan Mandarin yang mempunyai arti "Kebahagiaan". Berasal dari bahasa Hokkian (swang-si), di pinggir tulisan tersebut terdapat pula tulisan dari tulisan yang sama, tetapi dengan bentuk yang lebih kecil. Tulisan kecil itu jika dilafalkan berbunyi moo-che. Di rumah inilah, moo-che atau lebih dikenal mochi, diproduksi pertama kali oleh keluarga Gandhi.

Sekitar kurang dari lima puluh tahun yang lalu, tepatnya tahun 1964, Almh. Ny. Tan Swat Giok memproduksi mochi secara terbatas. Memasarkannya secara door to door ke rumah-rumah di pusat kota. Ia juga menerima pesanan dari kenalan-kenalan dekat dan kerabat-kerabatnya. Awalnya ia membuat mochi karena keterdesakan ekonomi, tidak lain untuk mencari makan sekeluarga. Menurut Ny. Kokoy Gandi, generasi ketiga pembuat mochi, hal itu juga dikarenakan kondisi perekonomian di Kota Sukabumi saat itu:

 

“Nenek membuat mochi dari tahun 1964. Dulu 'kan warga keturunan harus diam di luar kota, usaha susah, ema' dan engkong saya keturunan dari China, mencoba membuat mochi, lalu di jual, buat makan.”

 

Kota Sukabumi yang mengalami ketegangan akibat iklim politik saat itu memberikan sedikit ruang pada warga keturunan, khususnya dari etnis Tionghoa, baik itu ruang untuk berkegiatan ekonomi maupun bertempat tinggal. Dari beberapa keterangan narasumber, bahwa di Benteng, di Sukaraja, dan yang paling parah di Cisaat, terjadi pengusiran terhadap warga keturunan China. Bahkan, terjadi juga peristiwa pembakaran dan penjarahan. Oleh sebab itu, setelah tujuh tahun membuat dan menjual mochi di Gang Elita, sekitar Jl. A. Yani, pusat Kota Sukabumi, pada tahun 1972 mereka sekeluarga pindah ke lokasi yang sampai sekarang di tinggali, yaitu Jalan Otista no. 39.

Sampai saat ini, mochi ini terkenal dengan nama "Mochi 39". Dipilihnya nama ini adalah bahwa sejak dulu pelanggan lebih familiar dengan nama tersebut. Para pelanggan biasanya menyebut "Mochi Otista 39", juga tak jarang dengan sebutan "Mochi Double Happiness". Nama Double Happiness berasal dari ide yang dicetuskan ayah Ny. Kokoy, tetapi karena dirasa terlalu umum, nama 39 terus yang dipakai. Double Happiness sendiri masih dipakai di depan kemasan mochi, tetapi bukan sebagai merk dagang, melainkan lebih bermakna filosofis. Menurut Ny. Kokoy, artinya adalah kebahagiaan yang ganda.

Sumber Penulisan

H. Paul Varley. Samurai: Sejarah dan Perkembangan. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.

Kenji Matsura. Kamus Jepang-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.

KOMPAS, Minggu, 04 Desember 2010.

Puspa Vasanty. “Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia” dalam Prof. Dr. Koentjaraningrat (ed), Manusia dan Kebuidayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2004.

Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi (ed). Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara. Terjemahan P. Soemitro. Jakarta: Yayasan Obor, 1998.

Wawancara dengan Didin Syamsudin, 61 tahun, pemilik Mochi Rejeki, Gang Mesjid, Kota Paris, Kebonjati, 15 Oktober 2013.

Wawancara dengan Ny. Kokoy Gandhi, 51 tahun, pemilik Mochi 39, Jalan Otista no. 39, Kebonjati,15 Oktober 2013.

Wawancara dengan Rudi, pemilik Mochi Arjuna yang terletak di Gang Ajid, 06 Desember 2013.

2 komentar:

  1. Mantap nih artikelnya, mohon izin untuk share ya di blog saya.. :)

    http://www.inisukabumi.com/

    BalasHapus
  2. Waah menarik sekali, ternyata banyak cerita dari kisah mochi ini. Thankyou anyway for sharing 🙂

    BalasHapus