Home » , , , , , » Monumen Pers Nasional

Monumen Pers Nasional

Monumen Pers Nasional adalah monumen dan museum khusus pers nasional Indonesia yang terletak di Surakarta, Jawa Tengah. Museum ini didirikan pada tahun 1978, lebih dari 20 tahun setelah diusulkan dan dioperasikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia. Kompleks monumen terdiri atas gedung societeit lama, yang dibangun pada tahun 1918 dan digunakan untuk pertemuan pertama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) serta beberapa gedung yang ditambahkan pada tahun 1970an. Monumen ini terdaftar sebagai Cagar Budaya Indonesia.

Monumen Pers Nasional memiliki koleksi yang terdiri dari lebih dari satu juta koran dan majalah, serta pelbagai benda bersejarah yang terkait dengan pers Indonesia. Fasilitas di museum termasuk ruang multimedia, koran yang bisa dibaca secara gratis, dan perpustakaan. Tempat yang telah dikunjungi oleh lebih dari 26.000 orang selama tahun 2013 dipromosikan sebagai tujuan wisata pendidikan melalui Facebook dan beberapa pameran.

Bangunan tempat berdirinya Monumen Pers Nasional dibangun sekitar tahun 1918 atas perintah Mangkunegara VII, Pangeran Surakarta, sebagai balai perkumpulan dan ruang pertemuan. Bangunan ini dulunya bernama "Societeit Sasana Soeka dan dirancang oleh Mas Abu Kasan Atmodirono. Pada tahun 1933, Sarsito Mangunkusumo dan sejumlah insinyur lainnya bertemu di gedung ini dan merintis Soloche Radio Vereeniging, radio publik pertama yang dioperasikan pribumi Indonesia. Tiga belas tahun kemudian, pada tanggal 9 Februari 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di gedung ini. Saat pendudukan Jepang di Hindia Belanda, gedung ini dijadikan klinik perawatan tentara, kemudian menjadi kantor Palang Merah Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia.

Tanggal 9 Februari 1956, dalam acara perayaan sepuluh tahun PWI, wartawan-wartawan ternama seperti Rosihan Anwar, B.M. Diah, dan S. Tahsin menyarankan pendirian yayasan yang akan menaungi museum pers nasional. Yayasan ini diresmikan tanggal 22 Mei 1956 dan sebagian besar koleksi museumnya disumbangkan oleh Soedarjo Tjokrosisworo. Baru lima belas tahun kemudian yayasan ini berencana mendirikan museum fisik. Rencana ini secara resmi diumumkan oleh Menteri Penerangan Budiarjo pada tanggal 9 Februari 1971. Nama "Monumen Pers Nasional" ditetapkan tahun 1973 dan lahannya disumbangkan ke pemerintah tahun 1977. Museum ini resmi dibuka tanggal 9 Februari 1978 setelah dilengkapi beberapa bangunan. Dalam pidatonya, Presiden Soeharto memperingatkan pers akan bahaya kebebasan. Ia menyatakan, "menikmati kebebasan demi kebebasan itu sendiri adalah keistimewaan yang tak mampu kita dapatkan.

Pada tahun 2012, museum ini dikepalai oleh Sujatmiko. Museum ini sekarang dijadikan tempat wisata pendidikan dan menerima sumbangan material terkait pers di Indonesia. Menurut David Kristian Budhiyanto dari Universitas Kristen Petra, museum ini jarang dikunjungi dan beberapa ruangannya tidak terawat. Ia melihat masyarakat menganggap museum sebagai tempat yang tidak menarik atau membosankan. Demi menarik pengunjung baru, pihak museum mengadakan serangkaian kompetisi pada tahun 2012 dan 2013, termasuk kontes fotografi di laman Facebook-nya. Mereka juga mengadakan pameran keliling di sejumlah kota seperti Yogyakarta dan Magelang. Antara Januari dan September 2013, museum ini dikunjungi 26.249 orang, meningkat dari tahun sebelumnya dikarenakan upaya promosi dari pengelola museum.

Monumen Pers Nasional terletak di Jalan Gajah Mada 59, Surakarta, Jawa Tengah, di sudut Jl. Gajah Mada dan Jl. Yosodipuro. Letaknya di sebelah barat Istana Mangkunegaran. Kompleks museum terdiri dari bangunan asli Sasana Soeka, dua gedung berlantai dua, dan satu gedung berlantai empat. Di depan museum terdapat lapangan parkir dan dua papan pengumuman yang dilengkapi koran gratis (Solo Pos, Suara Merdeka, dan Republika). Fasad depannya dihiasi desain naga yang melambangkan tahun 1980 ketika pembangunan museum ini selesai.

Museum ini dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Struktur kepengurusannya terdiri dari kepala museum dan manajer administrasi, ditambah divisi layanan pengunjung, perlindungan dan perawatan, dan aktivitas sehari-hari. Pada 2013, museum ini ditangani oleh 24 pegawai negeri sipil. Bangunannya terdaftar sebagai Cagar Budaya Indonesia.

Museum ini memiliki lebih dari satu juta surat kabar dan majalah sejak masa sebelum dan sesudah Revolusi Nasional Indonesia dari berbagai daerah di Nusantara. Koleksinya juga meliputi teknologi komunikasi dan teknologi reportase, seperti penerbangan, mesin ketik, pemancar, teleponm dan kentongan besar.

Kamera Chinon 606S di museum

Bagian depan ruang depan utamanya dihiasi pahatan kepala tokoh-tokoh penting dalam sejarah jurnalisme Indonesia, termasuk Tirto Adhi Soerjo, Djamaluddin Adinegoro, Sam Ratulangi, dan Ernest Douwes Dekker.

Di belakang ruang depan utama terdapat enam diorama yang menggambarkan komunikasi dan pers sepanjang sejarah Indonesia. Diorama pertama memperlihatkan berbagai bentuk komunikasi dan berita di Indonesia pra-kolonial. Diorama kedua memperlihatkan pers di era kolonial, termasuk surat kabar pertama di Hindia Belanda milik Vereenigde Oostindische Compagnie, Memories der Nouvelles (1615); surat kabar pertama yang dicetak di Hindia Belanda, Bataviasche Nouvelles (1744), dan surat kabar bahasa Jawa pertama di Hindia Belanda, Bromartani (1855). Diorama teiga menggambarkan pers pada masa pendudukan Jepang, sedangkan yang keempat menggambarkan pers pada masa Revolusi Nasional, termasuk pembentukan PWI. Diorama kelima menunjukkan keadaan pers yang disensor besar-besaran saat Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Diorama terakhir menunjukkan kondisi pers setelah dimulainya era Reformasi tahun 1998 yang melonggarkan kebebasan pers.

Museum tersebut juga memiliki artefak milik para jurnalis dari berbagai zaman. Beberapa di antaranya adalah mesin ketik Underwood milik Bakrie Soeriatmadja, jurnalis Sipatahoenan dari Bandung; baju yang dipakai Hendro Dubroto saat meliput pendudukan Indonesia di Timor Timur tahun 1975; perlengkapan parasut Trisnojuwono ketika meliput gerhana matahari 11 Juni 1983; dan kamera Fuad Muhammad Syafruddin, jurnalis Bernas dari Yogyakarta yang dibunuh setelah mengangkat skandal korupsi tahun 1995. Artefak lainnya milik jurnalis seperti Mochtar Lubis masih disimpan di museum ini per Oktober 2013.

0 komentar:

Posting Komentar