TOKOH PERS DARI MASA KE MASA
Posted by Unknown
Posted on 00.32
with No comments
Dalam UU pers no 40 tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pers di Indonesia dimulai sejak perjuangan para pahlawan melawan penjajahan dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Semua ini tidak lepas dari peran penting para tokoh-tokoh pers pada jaman itu. Merekalah yang sangat berperan penting dalam membantu menyebarkan berita tentang adanya penyerangan dari para penjajah sertaa memberitakan proklamasi yang pada saat itu ditunggu oleh masyarakat Indonesia.
Sejak abad ke-18, orang-orang belanda mulai memperkenalkan penerbitan surat kabar di Indonesia. Meskipun hampir 90% di kuasai oleh bangsa-bangsa kolonial. Namun surat kabar yang tumbuh dari akhir abad ke 19 hingga awal abad berikutnya, juga merupakan sarana pendidikan dan latihan bagi orang-orang yang bekerja didalamnya, sehingga kelak mereka menyandang kedudukan sebagai tokoh-tokoh pers.
Berikut adalah sebelas tokoh perintis pers di Indonesia.
1. DR. ABDUL RIVAI
Dr. Abdul Rivai lahir pada tahun 1871. Dia adalah seorang dokter, namun dia mengabdikan dirinya dalam dunia kewartawanan. Tulisannya berisi anjuran-anjuran politik untuk kemajuan bangsa Indonesia saat itu. Bahkan ada salah satu surat kabar Pewarta Deli (9 Oktober 1930) menyebutnya sebagai “bapak dalam golongan jurnalistik”. Cita-citanya adalah ingin bersekolah di sekolah dokter. Sampai pada saatnya beliau berangkat ke JAwa dan mendaftarkan diri sebagai murid di STOVIA. Beliau lulus pada tahun 1895 lalu ditempatkan sebagai dokter di Medan.
Pada tahun 1918, beliau diangkat sebagai anggota Volksraad, terbukti saat itu beliau juga merupakan orator yang tangguh. Dalam waktu satu tahun menjadi anggota Volksraad,beliau kehilangan penghasilannya. Akhirnya beliau pergi ke Eropa, Amerika dan Swiss. Sekembalinya dari perjalanan itu, beliau menetap di Jakarta. Beliau sering menulis artikel di Bintang Timoer, pimpinan Parada Harahap pada masa jayanya. Saat itu, beliau mulai sakit-sakitan sehingga dokter menyarankannya untuk tinggal di tempat yang dingin, maka pindahlah beliau k Bandung. Namun tak lama tinggal di Bandung, tanggal 16 Oktober 1933 beliau meninggal dunia dalam usia 62 tahun.
2. R. BAKRIE SOERAATMADJA
Bakrie Soeraatmadja dilahirkan tanggal 26 Juni 1895 dan mempunyai istri bernama Nyi Iyar Widarsih serta mempunyai anak sebanyak 12 orang. Beliau pernah menjabat sebagai ketua PERDI (Persatuan Djurnalis Indonesia) Bandung dan anggota pengurus besar PERDI di Solo. Selain beliau menulis di Sipatahoenan, beliau juga membantu surat kabar Perbintjangan, Berita Periangan, dan yang lainnya. Namun itu semua tidak berlangsung lama. Tahun 1949 dia menjadi Kepala Japen Tasikmalaya, dan tahun 1950 di karesidenan Priangan. Pada tahun 1955 beliau menjalani hak pensiun sebagai pegawai Jawatan Sosial Kotamadya Bandung. Tahun 1964, beliau menerima Satyalencana Perints Kemerdekaan. Pada tanggal 1 Juni 1971, beliau dikabarkan wafat di rumahnya di Jalan PajajaranNo. 100 Bandung, dan dimakamkan di Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
3. R. M. BINTARTI
R. M. Bintarti adalah seoranga anak dari abdi dalem kraton Yogya, yaitu Raden Mas Kartodirdjo, seorang priyayi yang suka mengarang dan menulis buku yang kemudian diterbitkan di Balai Pustaka. Sebelum beliau benar-benar terjun dalam dunia jurnalistik, sebelumnya beliau juga pernah menjalankan beberapa profesi. Sampai pada akhirnya beliau pergi ke Bandung dan berguru kepada R. M. Tirtohadisoerjo yang memimpin majalah Medan Prijaji. Kemudian beliau mendapat julukan sebagai “wartawan Jawa yang pertama”. Namun, dia tidak lama tinggal di Bandung.
Di Yogya, dia mencoba menulis dan mengirimkan tulisannya ke Bintang Mataram, dan juga pada Perniagaan. Beliau menjadi seorang redaktur di Tjahaja Selatan, sebuah surat kabar yang dikeluarkan oleh Yanagi. Kemudian beliau berhenti dan pindah menjadi wartawan Pewarta Soerabaja. Tidak lama beliau di Pewarta, lalu beliau mengemudikan Tjahaja Timoer, sebuah majalah yang terbit tiga minggu sekalai di Malang. Pada tahun 1923, bersama Raden Pandji Soeroso, beliau menerbitkan harian Kemadjoean Hindia, sebuah harian yang dirintis olehnya. Tanggal 1 Agustus 1942, Beliau ditunjuk sebagai kepala redaksi Domei bagian Indonesia di Surabaya. Lalu beliau bergabung di kantor berita Antara Yogya. Di kantor pusat Antara, beliau ditugaskan untuk mengurusi wartawan-wartawan dan segala urusan yang ada hubungannya dengan daerah. Tahun 1950, beliau pindah ke Surabaya, menjadi redaktur harian bahasa jawa Express dan setelah keluar dari situ pindah lagi ke Surabaya Post. Meski sudah pensiun, beliau masih mengirim tulisannya mengenai cerita wayang.
4. DR. DANUDIRDJA SETIABUDHI (ERNEST FRANCUIS EUGENE DOUWES DEKKER)
Douwes Dekker alias Setiabudhi lahir di Pasuruan pada tanggal 8 Oktober 1879. Beliau dikenal sebagai pemimpin Ksatriaan Institut di Bandung yang memiliki berbagai ragam sekolah. Pada tahun 1947-an, beliau ditempatkan di Gedung Agung “Istana RI” di Yogya. Di Indonesia Douwes Dekker melamar sebgai wartawan di Bataviaasch Nieuwsblad. Mulanya beliau menjadi seorang reporter, kemudian karirnya menanjak sampai menjadi redaktur pertama. Suatu ketika, tulisannya dikutip oleh surat kabar Perniagaan yang juga terbit di Jakarta. Kemudian Douwes Dekker berhenti di Bataviaasch Nieuwsblad, tetapi masih terus menyumbangkan tulisan-tulisannya ke berbagai surat kabar. Pada saat di Bandung, beliau bekerja menjadi freelance journalist. Di situ menulis di majalah Het Tijdshrift yang isinya revolusioner dan cukup berpengaruh di kalangan bangsa Belanda.
Douwes Dekker kemudian memilih tinggal di Eropa. Dibalik pidato dan ceramahnya yang diadakan disana, darah kewartawannya terus mengalir dan menerbitkan sebuah majalah De Indier, dengan bantuan Dr. Tjipto dan Frans Berding yang menaruh minat pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sekembalinya ke Indonesia, beliau mendirikan National Indische Party dan menerbitkan majalah De Beweging. Tanggal 28 Agustus 1950, eliau menghembuskan nafas terakhirnya di Bandung.
5. R. DARMOSOEGITO
Darmosoegito berasal dari Demak, lahir pada tanggal 5 Juni 1892, dan masih keturunan Sunan Kali Jaga. Di sekitar tahun 1937-an, dalam harian Pemandangan Jakarta dimuat tulisan bersambung dari seorang penulis yang berinisialkan D. Pada hakekatnya D (Darmosoegito) membuat tulisannya yang cukup pedas terhadap para pengganggu keamanan dan penyelewengan ketidakadilan. Jauh sebelumnya, pada decade abad ini, beliau sudah berani menulis artikel yang menentang hal-hal yang dianggapnya kurang tepat. Berbagai Koran dan majalah dibantu oleh Darmosoegito. Beberapa tulisannya dimuat dalam harian Bramartani, Djawi Kando, Djawi Hiswara, Pasopati, Madjapahit, Darmo Kondo, Taman Pewarta, Taman Sari, Selompret Melajoe, Sinar Djawa, Berita Betawi, dan Pewarta Soerabaja. Beliau meninggal pada tanggal 9 Oktober 1972 dalam usia 80 tahun lebih. Setelah beberapa waktu menderita sakit tua, gerah sepuh.
6. DJOKOMONO alias R. M. TIRTOHADISOERJO
Djokomono lahir pada tahun 1875, beliau adalah saudara bupati purwodadi, sedangkan orang tuanya sendiri adalah seorang kolektur (juru pengumpul uang pada zaman Belanda atau Menteri Pajak). Djokomono inilah yang menggerakan hati H. Samanhoedi untuk berjuang dalam bidang penerbitan. Dengan piagam notaris Simon, didirikanlah Medan Prijaji. Medan Prijaji mendapat kemajuan dan kemudian menanjak sebagai harian. Batu dasar jurnalistik modern diletakkan oleh Tirtohadisoerjo. Beliau yang memulai pembaharuan dalam mengolah isi surat kabar. Pemuatan karangan, berita, pengumuman, pemberitahuan, iklan dan lain-lain disusun menjadi baru. Beliau adalah seorang yang boleh dikatakan sebgai wakil atau contoh dari perbatasan antara lama dan baru. Beliau meninggal pada tanggal 17 Agustus 1918, dan disemayamkan di Mangga Besar, Jakarta.
7. DJAMALUDDIN ADINEGORO GELAR DATUK MARADJO SUTAN
Nama aslinya adalah Djamaluddin. Tapi, karena tulisannya yang bersifat ilmiah beliau terus menerus menggunakan nama Adinegoro, sehingga nama itu lebih terkenal. Nama Adinegoro adalah nama yang disarankan oleh seorang wartawan yang mempunyai nama samara Nitinegoro. Nama yang sebenarnya adalah Landjumin Datuk Tumenggung, seorang wartawan Bintang Timoer, anggota volksraad dan juga menjadi patih di Betawi.
Beliau dilahirkan pada tanggal 14 Agustus 1904 di Talawi, Sumatra Barat. Karena dia gemar menulis maka dia dijadikan pembantu tetap di majalah Tjahaja Hindia. Selama perjalanannya di berbaga Negara bagian Eropa, beliau rajin mengirimkan artikel -artikelnya ke majalah Pandji Poestaka, Pewarta Deli (Medan), dan Bintang Timoer (Jakarta). Sepulangnya dari Eropa, beliau diangkat menjadi pemred Pandji Poestaka. Selain itu, setelah berhenti pada Pandji Poestaka, beliau memimpin harian Pewarta Deli.
Pada masa penjajahan Jepang, Pewarta Deli terpaksa diberhentikan. Lalu muncullah Sumatera Shimbun yang dipimpin oleh Adinegoro. Dari sumatera, beliau pindah ke Jawa dan mendirikan majalah Mimbar Indonesia. Majalah tersebut adalah majalah perjuangan yang isinya padat dan bermutu. Setelah proklamasi, Adinegoro diangkat menjadi presiden menjadi Ketua Komite Nasional Sumatera. Kemudian beliau mendirikan harian Kedaulatan Rakjat di Bukittinggi.
Pada tahun 1951, beliau memimpin Yayasan Persbiro Indonesia dan mendirikan Perguruan Tingi Publisistik serta Fakultas Publisistik dan Jurnalistik di UNPAD Bandung.
8. DR. GERUNGAN SAUL SAMUEL JACOB RATULANGIE
Dr. Sam Ratulangie dilahirkan pada tanggal 5 November 1890. Beliau menerbitkan mingguan berbahasa Belanda, Nationale Commentaren yang berkembang menanjak dan terus membesar yang hamper dibaca oleh seluruh kaum intelek bangsa Indonesia, baik Jawa maupun Hindia Belanda. Pihak Belanda tidak suka dengan tulisan Dr. Sam, yang pada akhirnya beliau dihukum selama 4 bulan penjara. Sewaktu Jepang datang ke Indonesia, Dr. Sam masih berada di Jawa sampai tahun 1943. Dr. Sam ditunjuk sebagai gubernur untuk propinsi di Sulawesi. Beliau meninggal di Jakarta tanggal 30 Juni 1949 pada saat rekan-rekannya sedang menjadi tawanan Belanda di Bangka dan di Prapat.
9. R. M. SOEDARDJO TJOKROSISWORO
Sejak kecil Soedardjo sudah bergelut dengan dunia Koran dan majalah. Karena itu beliau tergugah hatinya untuk ikut serta menjadi penulis. Soedardjo menulis karangannya pada surat kabar Oetoesan Hindia, Penggoegah, Persatoean Hindia, Sri Djojobojo, De Assistant, Islam Bergerak, Warna Warta dan Sin Po. Dari tahun 1922, selama empat tahun beliau magang di surat kabar Darmo Kondo. Beliau adalah seorang pelopor bersatunya wartawan seluruh Indonesia. Kemudian beliau mendirikan Badan Moesjawarah Djoernalistiek (BMD) yang merupakan pelopor dari berdirinya PERDI yang sekarang menjadi Persatuan wartawan Indonesia. Sekitar tahun 1960-an beliau menderita sakit dan dirawat di RSUP Jakarta, sampai pada akhirnya beliau tutup usia.
10. SOETOPO WONOBOJO
Tahun 1912, Soetopo masuk ke Boedi Oetomo dan mulai menginjakan kaki dalam bidang jurnalistik. Beliau memegang jabatan sebagai pemimpin redaksi edisi Belanda dan kemudian beliau pindah menjadi pemimpin Darmo Kondo. Beliau menjadi ketua pertama yang menjabat di PERDI. Setalah beliau tidak aktif lagi di dunia jurnalistik pada jaman Jepang, beliau memilih untuk berdiam diri dan memulai kegiatannya dalam Pakempalan Kawoela Surakarta sebelum beliau disekap di Penjara Sukamiskin Bandung oleh pemerintah Belanda.
11. R. TAHER TJINDARBOEMI
R. Taher Tjindarboemi adalah seorang pemimpin redaksi dari suratkabar Soeara Oemoem di Surabaya. Karena beliau memahami psikologi sidang pembacanya, maka Soeara Oemoem lalu menjadi laris dan mempunyai banyak pelanggan. Menurut (Soebagijo:1976) Nama beliau tidak akan lepas dari pemberontakan kapal perang Belanda “De Zeven Provincian” yang dilakukan oleh matrus-matrus Belanda sendiri maupun awak kapal Indonesia, yang menyebabkan beliau mendekam di penjara selama 18 bulan. Beliau juga mendapat pengakuan sebagai Perintis Kemerdekaan.
Salah satu tokoh pers pada masa awal abad 19 yaitu Dr. wahidin sudirohusodo, ia menjadi redaktur majalah retnodhoemilah Yogyakarta sejak tahun 1901, beliau juga merupakan pencetus gagasan pembentukan budi oetomo. Dan lahirnya budi oetomo pada tranggal 20 mei 1908 merupakan awwal kebangkitan nasional, yang merangsang ide-ide modern demi pergerakan nasional, dengan tulisan-tulisanya beliau telah menghidupkan kembali semangat pergerakan nasional, maka tidak salah jika dr. wahidin sudirohusodo kita sebut sebagai salah satu tokoh pers di Indonesia. Seperti yang kita tahu surat kabar atau majalah jelas merupakan sarana komunikasi yang utama dalam menumbuhkan kesadaran nasionaldan meluaskan kebangkitan nasional.
Di kota padang, seorang pria bernama Parade Harahap menerbitkan Koran bernama bernama sinar merdeka, di kota padang sidempuan, Sumatra utara bagian selatan pada tahun 1919, Satu tahun sebelumnya, beliau pernah menjadi pemimpin majalah karyawan/pegawai perkebunan bernama De cranie dengan di bantu beberapa redaktur wanita bahkan istrinya pun yang bernama setiaman ikut membantunya. Pardi harahap menulisfikiranya diatas dalam masa perang dunia I baru berakhir dan suasana politik di eropa diliputi kemelut di jerman dan rusia.
Dari kalangan perempuan pun, pada masa ini, banyak sekali yang mengikuti jejak para lelaki, mereka tidak gentar dengan ancaman dari para colonial, salah satu tokoh pers wanita yaitu S.K. trimurti, pada tahun 1937 beliau sudah aktif menjadi seorang wartawan majalah pesat di semarang yang kemudian menjadi surat kabar harian di Yogyakarta. Sejak tahun 1972 beliau akhirnya menjadi pemimpin umum/pimpinan redaksi majalah mawas diri di Jakarta.
Sedangkan wartawan wanita dari sebrang, berasal dari medan, bernama Ani Idrus, beliau menjadi seorang wartawan surat kabar sinar deli di medan pada tahun 1936 dan majalah politik seruan kita pada tahun 1938, kemudian sejak tahun 1947 beliau menjadi wartawan dan terakhir menjadi pemimpin umum/pemimpin redaksi waspada, Medan.
Pada masa kebangkitan, masyarakat Indonesia yang berkecimpung di dunia pers, bukan hanya, menggeluti dunia koran atau media cetak, sekitar tahun 1937 Adam Malik bersama A.M. Sipahutar dan dua orang lainya, mendirikan kantor berita antara, dan hal ini kemudian menjadi kemajuan dalam bidang pers di Indonesia.
Mochtar Lubis. Hingga kini orang memang lebih mengenal Mochtar Lubis sebagai pemimpin umum dan pemimpin redaksi surat kabar Indonesia Raya yang pernah mengalami dua kali masa terbit, pada zaman Orde Lama (1949-1958) dan Orde Baru (1968-1974).
“....sewaktu kita dulu berjuang, ratusan ribu teman kita telah mati untuk merebut suatu kemerdekaan. Pengorbanan itu kemudian ada artinya buat kita. Apakah 100 orang yang bekerja pada kita lalu kita hendak mengorbankan prinsip kemerdekaan pers.” ucap Mochtar Lubis seperti dalam tulisan Atmakusumah “Mochtar Lubis dan Indonesia Raya”
Moctar Lubis terkenal sebagai wartawan yang berani dan pelawan terhadap semua yang batil. Dalam pandangan A.H. Nasution (1922 : 156), Mochtar Lubis adalah pribadi yang teguh pada keyakinan dan perjuangan demokrasi serta hak-hak asasi warga negara sebagaimana seharusnya demi harkat dan martabat manusia sebagai makhuk ciptaan Allah yang terbaik.
Karena prinsip itu, surat kabar Indonesia Raya sepanjang hidupnya mengalami seluruhnya tujuh kali pembredelan. Mochtar Lubis terkenal karena keberanianya mengekspos kasus korupsi dan ketidakefisienan pemerintah. Ia dipenjara oleh dua presiden, sementara surat kabarnya dibredel sampai enam kali.
Lubis pertama kali dipenjara pada Desember 1956 namun ia tidak ditentukan bersalah atau tidak. Sesudah secara sangat berani mengritik rezim Soekarno pada konferensi International Press Institute (IPI) di Tel Aviv, lubis langs ung ditangkap kembali dan dipenjarakan selama lima tahun.
Ia akhirnya dibebaskan pada tahun 1966, selepas adri penjara ia mendirikan kembali Indonesia Raya pada 1968 dan melanjutkan perannya dalam mengekspos korupsi pemerintah. Mochtar Lubis adalah tokoh pers di negara ini yang terbukti mempertahankan integritasnya sebagai wartawan yang selalu menyurakan kebenaran.
Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, 3 Mei 2000, sang “Legenda Pers Indonesia” memperoleh penghargaan sebagai satu dari 50 “Pahlawan Pers Dunia”. Anugerah itu seperti ditulis Jurnal Media Watch and Consumer Center yang diberikan oleh International Press Institute (IPI). Upacara pemberian penghargaan di lakukan di Boston, Amerika Serikat. Mochtar Lubis juga orang pertama yang mendapat Ramon Magsaysay Award, tahun 1958. Dengan gayanya yang khas Mochtar Lubis mengatakan, “ Buat orang Indonesia Raya, penghargaan itu suatu kebangaan untuk ikut membantu menghapus korupsi.
Atmakusumah. Atmakusumah adalah seorang peneliti perkembangan pers di Indonesia bahkan luar negeri yang bermata tajam. Ia lebih dikebnal sebagai orang Indonesia Raya. Antara 1968 hingga 1974, di koran tersebut ia meenjabat sebagai redaktur, kemudian redaktur pelaksana (managing editor).
Ketika masih berusia 19 tahun, ia menjadi reporter di surat kabar Indonesia Raya. Pada tahun 1958, Presiden Soekarno membredel koran tersebut. Setelah melanglangbuana ke Australia dan Jeman sebagai penyiar radio. Atmakusumah kembali ke Indonesia pada 1965, mengantar Indonesia ke era Orde Baru. Ia lalu bergabung kembali ke Mochtar Lubis dan dipercaya menjadi editor pelaksana Indonesia Raya. Ketika Soeharto membredel harian itu pada 1974, nama Atmakusumah pun masuk daftar hitam. Ia lalu bekerja di kedutaan besar Amerika sambil menunggu situasi politik berubah menjadi lebih baik.
Di era pemerintahan pasca-Soeharto, Atmakusumah berupaya keras agar RUU tentang media terbebas dari campur tangan pemerintah. Upaya keras itu menghasilkan karya monumental dan bersejarah. Pada september 1999, pemerintah menghapus berlakunya sensor dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Kemudian Atmakusumah menjadi ketua lembaga Dewan Pers pada Mei 2000.
Para jurnalis, termasuk Atmakusumah khawatir jika pers yang bebas tanpa kekangan justru dianggap bagus. Karena itu, ia mendesak agar pers tetap menaati kode etik pers. Kemudian Atmakusumah terpilih sebagai penerima Anugerah Ramon Magsaysay 2000 untuk kategori Journalism, Literature, and Creative Communication Arts.
(sumber: www.afrianties.blogspot.com)
0 komentar:
Posting Komentar