Oleh: @KibotInUSA
"The dogma of woman’s complete historical subjection to men must be rated as one of the most fantastic myths ever created by the human mind.”
Mary Ritter Beard (1876-1958)
Sejarawan, Aktifis Hak-hak Perempuan
Tak banyak yang mengetahui keberadaannya dalam sejarah. Dia adalah "sultanah" pertama atau panggilan bagi seorang ratu dalam kerajaan Islam Aceh Darusalam saat itu.
Sejarah perempuan adalah sejarah yang masih penuh tanda-tanya. Seringkali terjadi kesalahpahaman dalam deskripsi sejarah tentang perempuan. Bahkan, seringkali tak pernah tercatat dalam dokumen apapun. Perannya seringkali di anggap melanggar 'kodrat'. Banyak pencapaian perempuan yang tertutupi oleh pencapaian tokoh lain yang notabenenya laki-laki, atau mungkin sengaja ditutupi orang-orang yang menyepelekan mereka karana kelaminnya perempuan.
Ini mungkin juga yang dialami oleh Sultanah Tajul Alam Safiatuddin atau yang benama asli Putri Sri Alam. Namanya mungkin tertutupi oleh kemegahan nama ayahandanya, Sultan Iskandar Muda. Padahal, untuk seorang pemimpin perempuan yang berada di kerajaan Islam terkemuka saat itu, Sultanah behasil memimpin Aceh Darusalam mencapai lebih dari 30 tahun, sekitar tahun 1644-1675. Sungguh pencapaian yang sulit ditandingi oleh tokoh-tokoh lain. Bahkan, sang ratu berhasil membawa Aceh menjadi kerajaan yang sangat gemilang dan bisa disamakan pencapaiannya dengan ayahnya, Sultan Iskandar Muda.
Seperti kebanyakan pemimpin perempuan yang hadir dalam masa di mana budaya patriarki masih menancap dalam, naiknya Sultanah sangatlah kontroverisal di kalangan ulama di Aceh saat itu. Berawal dari kematian pelanjut tahta yang adalah suami dari Sultanah sendiri, yaitu Sultan Iskandar Tsani. Meninggalnya sultan pengganti secara tiba-tiba, kemudian menciptakan konflik tentang siapa yang harus melanjutkan tahta. Ini dikarenakan Sultan Iskandar Muda tidak memiliki keturunan laki-laki. Banyak ulama Aceh yang beraliran wujudiah menentang habis-habisan naiknya Safiatuddin sebagai sultanah. Tapi, dalam perdebatan yang panjang, datanglah seorang ulama besar bernama Nurudin Ar-Raniri yang juga adalah penasihat dari Sultan Iskandar Tsani. Beliau menengahi dan mementahkan semua argumen menyangkut penentangan naiknya Sultanah Safiatuddin sebagai Ratu Aceh.
Masa pemerintahan Sultanah yang mencapai lebih dari 30 tahun itu berjalan dengan sangat gemilang. Banyak kemajuan yang berhasil beliau raih. Kehidupan dan kemakmuran dirasakan segenap masayarakat Aceh Darussalam saat itu. Perkembangan sastra dan ilmu pengetahuanpun sangatlah pesat.
Namun, banyak tantangan yang Sultanah dapatkan sepanjang pemerintahannya, baik dari dalam atau luar negeri. Terutama dari Portugis yang kala itu sedang menguasai Semenanjung Malaka. Banyak juga lahir pujangga dan ulama Islam yang besar di masa pemerintahannya.
Tak banyak dokumen yang secara rinci membahas tentang masa pemerintahannya. Sang Sultanah hanya dikenal sebagai pemimpin yang sangat cerdas dan cakap dalam mengurusi masalah negara.
Ada yang unik pada akhir masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin. Sang Sultanah mempersiapkan sebuah gebrakan baru dalam pemerintahan kerjaan Islam. Karena tidak memiliki keturunan, Sang Sultanah mempersiapkan 3 orang perempuan yang bukan dari keturunannya, namun dari keturunan bangsawan-bangsawan di Aceh, untuk meneruskan tahta. Perempuan-perempuan tersebut antara lain adalah Sultanah Nurul Alam Nkiyahtudin, Sultanah Inyatsyah Zakiatudin dan Sultanah Kemalat Syah. Maka, akhirnya, selama abad ke 16, Kerajaan Islam Aceh Darussalam diperintah oleh perempuan-perempuan yang luar biasa ini.
Ide cemerlang Sultanah untuk mengangkat perempuan-perempuan ini adalah sebuah kemajuan yang luar biasa pada zamannya. Walau pengganti-penggantinya tidak berhasil melampaui kepemimpinan Sultanah, namun ini bisa menjadi gambaran bahwa betapa perempuan menjadi pemimpin bukanlah hal aneh dan sangat mungkin. Kelebihan perempuan yang terletak pada ketegasan sekaligus kelembutannya adalah karakter pemimpin yang sulit ditandingi.
Keberhasilan perempuan di banyak era sejarah sangatlah patut untuk diapresiasi. Begitu banyak perempuan hebat di masa lalu, namun perannya seringkali 'disunat'. Generasi muda seringkali mendapat penggambaran yang salah tentang perempuan dalam sejarah. Perempuan yang memiliki ambisi besar dianggap tidak bermoral, dan perempuan yang begerak untuk kaumnya dianggap tidak berahlak. Contoh terbesar yang dapat kita lihat dalam sejarah kelam kelompok Gerwani (Gerakan Perempuan Indonesia). Karena kekuatan politiknya yang sangat besar, mereka difitnah, lalu disiksa, dan terlebih lagi digelapkan sejarahnya hingga dianggap sebagai pemberontak tak bermoral.
Pola pikir ini yang harus diubah. Karena kita tentu tak ingin anak-cucu kita mendapatkan pemahaman yang salah tentang sejarah. Tentu kita ingin anak-anak perempuan kita dapat mencontoh kegigihan Cut Nyak Dien dan kecakapan seorang Sultanah Safiatuddin Syah sebagai pemimpin. Hanya sejarah yang dapat membuat kita memahami dan mempelajari semua. Karena kenyataanya, apa yang terjadi di masa ini adalah hanya pengulangan dari masa lalu. Semoga ke depannya, sejarah Sultanah Safiatuddin yang dirasa penulis sangat terbatas, dapat digali lebih dalam agar hal-hal baik di dalamnya tentu dapat menjadi pelajaran yang baik juga bagi bangsa ini di masa depan.
0 komentar:
Posting Komentar