Sekian banyak tulisan tangan Sukarno, berikut satu surat yang ia tulis 31 Agustus 1963, ditujukan kepada Hariyatie, salah satu istri yang dinikahinya 21 Mei 1963. Waktu itu, Hariyatie masih tinggal di rumah Jl Madiun, Menteng – Jakarta Pusat. Itu artinya, surat itu ditulis dalam suasana “bulan madu”, alias “penganten anyar”. Wajarlah kalau Bung Karno selalu terkenang-kenang kepada sosok wanita penari berparas ayu itu.
Surat itu terdiri atas dua lembar. Pada sisi kertas ditulis miring, Bung Karno menulis “Bali saka hotel, ora bisa turu, njur nulis layang iki” (Pulang dari hotel, tidak bisa tidur, lantas menulis surat ini). Memang, surat kepada Harijatie banyak dituang dalam bahasa Jawa. Berikut kutipan surat tersebut:
Yatie adikku wong ayu,
Iki lho arloji sing berkarat kae. Kulinakna nganggo, mengko sawise sesasi rak weruh endi sing kok pilih: sing ireng, apa sing dek mau kae, apa karo-karone? Dus: mengko sesasi engkas matura aku (Dadi: senajan karo-karone kok senengi, aku ya seneng wae).
Masa ora aku seneng! Lha wong sing mundut wanodya pelenging atiku kok! Aja maneh sekadar arloji, lha mbok apa-apa wae ya bakal tak wenehke.
Tie, layang-layangku ki simpenen ya! Karben dadi gambaran cintaku marang kowe kang bisa diwaca-waca maneh (kita baca bersama-sama) ing tembe jen aku wus arep pindah-omah sacedake telaga biru sing tak ceritake dek anu kae. Kae lho, telaga biru ing nduwur, sak nduwure angkasa. Coba tutupen mripatmu saiki, telaga kuwi rak katon ing tjipta! Yen ing pinggir telaga mau katon ana wong lanang ngagem jubah putih (dudu mori lho, nanging kain kang sinulam soroting surya), ya kuwi aku, — aku, ngenteni kowe. Sebab saka pangiraku, aku sing bakal ndisiki tindak menyang kono, — aku, ndisiki kowe!
Lha kae, kembang semboja ing saknduwure pasareanku kae, — petiken kembang iku, ambunen, gandane rak gandaku. Dudu ganda kembang, nanging sawijining ganda kang ginawe saka rasa-cintaku. Sebab, oyote kemboja mau mlebu ing dadaku ing kuburan.
(Masmu, Soekarno)
Jika Anda mengerti bahasa Jawa, tentu memahami isi surat Bung Karno ini. Pada bagian akhir begitu dalam maknanya. Dan bagi Anda yang tak mengerti bahasa jawa, berikut terjemahan bebasnya:
Yatie, adikku yang ayu,
Ini lho, arloji bertahta emas itu. Biasakan memakai, nanti setelah sebulan kamu akan tahu mana yang hendak dipilih, yang hitam atau yang satunya, atau keduanya? Jadi, nanti sebulan lagi, bilanglah (walaupun suka keduanya, aku senang juga).
Masakan aku tidak senang, lha yang meminta saja wanita jantung hatiku! Jangankan sekadar arloji, minta apa pun akan aku beri.
Tie, surat-suratku ini tolong disimpan ya! Supaya menjadi gambaran cintaku kepadamu, yang bisa dibaca-baca lagi (kita baca bersama-sama) pada suatu saat nanti, kala aku mau pindah-rumah di dekat telaga biru yang saya ceritakan ketika itu. Itu lho, telaga di atas, di atasnya angkasa. Coba kau pejamkan matamu sekarang, maka kau akan bisa membayangkan telaga itu! Kalau di tepian telaga tadi tampak lelaki berjubah putih (bukan kain kafan lho… tetapi kain yang bersulamkan pancaran sinar matahari), ya itu aku, –aku, menunggumu. Sebab dari perkiraanku, aku yang bakal mendahului pergi ke sana, aku mendahuluimu!
Lha itu, kembang kamboja di atas nisanku, petiklah kembang itu, ciumilah, maka kamu akan rasakan aroma tubuhku. Bukan aroma bunga, tetapi sebuah aroma yang tercipta dari rasa-cintaku. Sebab, akar kamboja itu menusuk menembus dadaku, di dalam kuburan sana.
(Masmu, Soekarno)
Demi dan atas nama surat itu, Hariyatie pun rajin berziarah ke makam Bung Karno di Blitar. Sayang, di atas pusara Bung Karno, tak tertanam pohon kamboja. Meski begitu, Hariyatie tentu bisa merasakan, aroma Bung Karno di sekitar pusara. Sebab, jazad Bung Karno begitu dicintai oleh tanah yang memeluknya dengan hangat.
(sumber: rosodaras.wordpress.com)
0 komentar:
Posting Komentar